Karbon dioksida (CO2) : Efek dan Penanganannya
Karbon dioksida diproduksi oleh hewan, tumbuh-tumbuhan, fungi, dan mikroorganisme dalam respirasi dan dipergunakan tanaman pada fotosintesis. Sehingga karbon dioksida termasuk komponen yang penting dalam siklus karbon. Karbon dioksida juga dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Karbon dioksida anorganik dikeluarkan dari gunung berapi dan proses geotermal lainnya seperti pada mata air panas.
Karbon dioksida tidak berbentuk cair pada tekanan di bawah 5,1 atm tetapi berbentuk padat pada temperatur di bawah -78 °C. Dalam bentuk padat, karbon dioksida disebut es kering.CO2 adalah oksida asam. Larutan CO2 mengubah warna litmus dari biru menjadi merah muda.
Bagian terbesar dari karbon yang berada di atmosfer Bumi adalah gas karbon dioksida(CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.
Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara:
- Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat.
- Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2 akan lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke kedalaman laut atau interior laut (lihat bagian solubility pump).
- Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung karbon, beberapa organisme juga membentuk cangkang karbonat dan bagian-bagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah (lihat bagian biological pump).
- Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse reaction).
- Melalui pernafasan (respirasi) oleh tumbuhan dan binatang. Hal ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga di dalamnya penguraian glukosa (atau molekul organik lainnya) menjadi karbon dioksida dan air.
- Melalui pembusukan binatang dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan bakteri mengurai senyawa karbon pada binatang dan tumbuhan yang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen.
- Melalui pembakaran material organik yang mengoksidasi karbon yang terkandung menghasilkan karbon dioksida (juga yang lainnya seperti asap). Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, produk dari industri perminyakan (petroleum), dan gas alam akan melepaskan karbon yang sudah tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer. Hal inilah yang merupakan penyebab utama naiknya jumlah karbon dioksida di atmosfer.
- Produksi semen. Salah satu komponennya, yaitu kapur atau gamping atau kalsium oksida, dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur atau batu gamping yang akan menghasilkan juga karbon dioksida dalam jumlah yang banyak.
- Di permukaan laut dimana air menjadi lebih hangat, karbon dioksida terlarut dilepas kembali ke atmosfer.
- Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepaskan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer secara kasar hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan silikat; Kedua proses kimia ini yang saling berkebalikan ini akan memberikan hasil penjumlahan yang sama dengan nol dan tidak berpengaruh terhadap jumlah karbon dioksida di atmosfer dalam skala waktu yang kurang dari 100.000 tahun.
Karbondioksida, suatu gas yang penting, tetapi keberadaannya yang tidak seimbang akan membuat fenomena alam yang mampu merusak bumi. Mulai dari tenggelamnya beberapa pulau di dunia sampai musnahnya beberapa jenis spesies di bumi. Oleh karena itu kadar konsentrasi karbondioksida yang sesuai harus dipertahankan.Dan komposisi karbondioksida dalam udara bersih seharusnya adalah 314 ppm.
Karbondioksida yang berlebihan efeknya :
- Melubangi lapisan Ozon
- Efek rumah kaca, cahaya & panas matahari yang masuk kebumi tidak dapat di lepas ke luar angkasa secara kosmis.
- Meningkatkan suhu bumi secara global beberapa derajat
- Mencairkan es kutub sehingga meningkatkan permukaan air laut
Reboisasi
Salah satu cara untuk mereduksi keberadaan kadar karbondioksida yang berlebih adalah dengan penghijauan.Beberapa tanaman akan sangat baik dalam penyerapan CO2. Widyastama (1991) dalam Dahlan (1992) menyatakan bahwa tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 adalah damar (Agathis alba), daun kupu – kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auricoliformis) dan beringin (Ficus javanica). Menurut Sugiarti (1998), Flamboyan (Delonix regia) dan kembang merak (Caesalpinia pulcherrima) merupakan tanaman yang efektif dalam menyerap gas karbondioksida dan sekaligus relatif kurang terganggu oleh pencemaran udara. (Sumber Rosa 2005).
Setiawati (2000) dalam Abrarsyah (2002) menyebutkan bahwa tanaman yang tergolong tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor adalah kembang merak, trembesi, angsana, asam londo, flamboyan, kupu – kupu, saputangan, kaliandra, sengon, nyamplung, kenanga, mahoni, eboni, krey payung, kesumba, glodokan, akasia aurikuliformis dan salam. Adapun tanaman yang tergolong sangat tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor adalah akasia mangium, sawo kecik, kayu manis, kayu putih, beringin dan kenari diacu dalam (Abrarsyah 2002)
Startegi Menurunkan Emisi Karbon
15 strategi untuk menurunkan emisi karbon. Setiap strategi, jika dilakukan dalam waktu 50 tahun, akan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 1 milyar ton karbon per tahun. Stategi tersebut antara lain:
- Meningkatkan efisiensi bahan bakar bagi 2 milyar mobil menjadi dua kali lipat ( dari 30 mil per galon menjadi 60 mil per galon).
Indonesia harus siap dengan kendaraan yang berbahan bakar alternatif, seperti gas, air, dan udara. - Mengurangi setengahnya jarak rata-rata per tahun yang ditempuh
setiap mobil (dari 10.000 mil ke 5.000 mil). Bisa juga melalui
pengembangan transportasi massal.
Faktanya transportasi masal di Indonesia masih banyak menggunakan bahan-bakar dengan tingkat polutan yang sangat tinggi. - Meningkatkan efisiensi bangunan (heating, cooling, lighting and aplikasi elektronik lainnya) sebesar 25%.
- Meningkatkan efisiensi pembangkit listrik tenaga batubara dari 40% ke 60%
Masih jarang nih di Indonesia yang memakai Batubara.Tetapi batubara walaupun polutannya rendah tapi pelepasan karbonnya cukup banyak. - Menangkap dan menyimpan karbon di bawah tanah dari 800 pembangkit atau pabrik skala besar berbahan bakar batu bara atau 1.600 pembangkit atau pabrik skala besar berbahan bakar gas.
- Memproduksi bahan bakar hidrogen dari turunan batu bara/bahan bakar fosil bagi satu milyar mobil.
- Memproduksi bahan bakar sintetik dari turunan batu bara sebesar 30 juta barrel per hari.
- Menggantikan 1.400 pembangkit listrik tenaga batubara skala besar (1 milyar watt) dengan pembangkit listrik tenaga gas.
- Meningkatkan kapasitas pembangkit tenaga nuklir menjadi tiga kali lipat.
- Meningkatkan pembangkit listrik tenaga angin sebesar 25 kali kapasitas yang ada sekarang (atau 2 juta pembangkit tenaga angin kapasitas 1 megawatt).
- Meningkatkan listrik tenaga surya sebesar 700 kali kapasitas yang ada sekarang (atau 2000 gigawatt). Ini merupakan energi alternatif yang sangat potensial di Indonesia
- Meningkatkan pembangkit hidrogen tenaga angin, untuk membuat bahan bakar hidrogen bagi mobil, sebesar 50 kali kapasitas yang ada sekarang.
- Meningkatkan produksi biofuel sebesar 50 kali kapasitas yang ada sekarang.
- Menghentikan penggundulan hutan atau deforestasi, dan merehabilitasi atau menghutankan kembali 400 juta hektar lahan di daerah temperata atau 300 juta hektar lahan di daerah tropis.
- Memperluas upaya konservasi tanah tanah pada semua lahan pertanian.
Penanganan Karbondioksida yang Berasal dari Pembakaran Bahan Bakar Fosil
Masalah utama yang menjadi pembicaraan ilmuan seluruh dunia adalah resiko terjadinya pemanasan global. Gas-gas yang terjadi secara alami di atmosfer membantu mangatur suhu bumi dan menangkap radiasi lain atau dikenal sebagai green house effect (efek rumah kaca). Kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, menghasilkan gas rumah kaca yang pada akhirnya berakumulasi di atmosfer. Pembentukan gas tersebut menyebabkan terjadinya efek rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Batu bara adalah salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan manusia. Gas rumah kaca yang terkait dengan batu bara termasuk metana, karbon dioksida, dan oksida nitro. Gas metana keluar dari tambang batu bara dalam, sedangkan karbon dioksida dan oksida nitro keluar dari batu bara yang digunakan untuk membangkitkan listrik atau proses industri seperti produksi baja dan pabrik semen.
Penggunaan energi batu bara juga tidak luput dari penyebab munculnya polusi seperti oksida belerang dan nitrogen (SOx dan NOx), serta partikel dan unsur lain seperti merkuri. Masalah yang baru adalah emisi karbon dioksida (CO2). Lepasnya CO2 ke atmosfer dari aktivitas manusia atau sering disebut emisi antropogenik memiliki keterkaitan dengan pemanasan global. Pembakaran bahan bakar fosil adalah sumber utama dari emisi antropogenik dai seluruh dunia.
Untuk mananggulangi permasalahan yang muncul dari penggunaan batu bara, kemudian muncul clean coal technology (CCT) yang merupakan salah satu teknologi yang mampu meningkatkan kinerja lingkungan batu bara. Teknologi tersebut mengurangi emisi, limbah, dan meningkatkan jumlah energi yang diperoleh dari setiap ton batu bara.
Pemilihan teknologi tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Teknologi yang mahal dan sangat maju tidak mampu diadopsi oleh negara miskin dan berkembang.
Langkah pengurangan emisi karbon dioksida dari pembakaran batu bara adalah pengembangan dalam efisiensi termal dari pembangkit listrik tenaga uap. Efisiensi termal merupakan tindakan efisiensi konversi keseluruhan untuk membangkitkan tenaga listrik. Semakin tinggi tingkat efisiensinya maka semakin besar pula energi yang dihasilkan.
Penggunaan batu bara di masa akan datang harus mampu negurangi emisi CO2. Banyak metode yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut seperti dengan peningkatan tingkat efisiensi. Salah satu metode yang paling menjanjikan di masa depan adalah Carbon Capture and Storage (CCS-Tangkapan dan Penyimpanan Karbon).
CCS memungkinkan emisi karbon dioksida untuk dibersihkan dari aliran buanga pembakaran batu bara atau pembentukan gas dan dibuang sedemikian sehingga karbon dioksida tidak masuk ke atmosfer. Teknologi yang memungkinkan penangkapan CO2 dari aliran emisi telah digunakan untuk menghasilkan CO2 murni dalam industri makanan dan kimia.
Setelah CO2 ditangkap, penting bahwa CO2 dapat disimpan secara aman dan permanent. Ada beberapa metode penyimpanan.
- Karbon dioksida dapat diinjeksikan ke dalam sub permukaan bumi, teknik yang dikenal sebagai peyimpanan secara geologis. Teknologi ini memungkinkan penyimpanan CO2 secara permanen dalam jumlah yang besar dan teknologi ini merupakan opsi penyimpanan yang pernah dikaji secara lengkap. Selama tapak dipilih secara hati-hati, CO2 dapat disimpan untuk waktu yang lama dan dipantau untuk memastikan tidak ada kebocoran.
- Minyak tanpa gas dan reservoir gas merupakan pilihan penting untuk penyimpanan secara geologis. Estimasi akhir memperkirakan bahwa lapangan minyak tanpa gas memiliki kapasitas total CO2 sebanyak 126 gigaton. Reservoir gas alam tanpa gas memiliki kapasitas penyimpanan sebanyak 800 gigaton.
- Dapat pula disimpan dalam batuan reservoir air garam jenuh dalam sehingga memungkinkan negara-negara untuk menyimpan CO2 selama ratusan tahun. Kapasitas penampungannya diperkirakan berkisar antara 400 – 10.000 gigaton.
Teknologi Penyerapan Karbondioksida dengan Kultur Fitoplankton
Selain potensinya yang besar sebagai sumber bahan baku bagi energi baru dan terbarukan, mikroalga (fitoplankton) juga dapat berperan dalam menurunkan emisi gas CO2 di atmosfer. Mikroalga sebagai tumbuhan mikroskopis bersel tunggal yang hidup di lingkungan yang mengandung air, tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dan nutrient anorganik sederhana seperti CO2, komponen nitrogen terlarut dan fosfat.
Kemampuan fitoplankton untuk berfotosintesis, seperti tumbuhan darat lainnya, dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menyerap CO2. Berdasar reaksi fotosintesis disimpulkan bahwa jumlah CO2 yang dipakai oleh fitoplankton untuk fotosintesis adalah sebanding dengan jumlah materi organik C6H12O6 yang dihasilkan.
Alasan utama pemilihan fitoplankton sebagai biota yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi emisi CO2 adalah karena meskipun jumlah biomasa fitoplankton hanya 0,05% biomassa tumbuhan darat namun jumlah karbon yang dapat digunakan dalam proses fotosintesis sama dengan jumlah C yang difiksasi oleh tumbuhan darat (~50-100 PgC/th) (Bishop & Davis, 2000). Selain itu,sistem alga diketahui mampu menghilangkan CO2 (dan NOx) dari cerobong asap dimana untuk keperluan itu diperlukan teknologi pembudidaya alga berupa fotobioreaktor. Dengan teknologi fotobioreaktor ini, tingkat produktivitas alga dapat ditingkatkan menjadi 2 hingga 5 kali lebih tinggi dari kondisi normalnya. Gas CO2 yang keluar dari cerobong asap selanjutnya dapat langsung disambungkan ke fotobioreaktor dan dimanfaatkan oleh alga untuk pertumbuhannya melalui mekanisme fotosintesis.
Percobaan fotobioreaktor telah memberikan hasil dan indikasi yang positif akan kemampuan fitoplankton dalam mereduksi kandungan CO2 yang diinjeksikan ke dalam fotobioreaktor. Fitoplankton jenis Chaetoceros gracilis ini terbukti mampu beradaptasi dengan pH yang lebih rendah dari kondisi inokulasinya. Namun demikian karena percobaan ini masih dalam tahap awal, maka percobaan-percobaan selanjutnya serta penyempurnaan-penyempurnaan masih perlu dilakukan agar dapat dihasilkan data yang lebih baik sehingga tujuan dari studi ini dapat dicapai.
Padang rumput sumber biofuel unggulan masa depan.
Kebanyakan orang sudah semakin menyadari bahwa energi alternatif pengganti bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor di masa depan harus segera ditemukan dalam waktu dekat.Para peneliti dari Universitas Minnesota berpendapat bahwa campuran dari rerumputan padang rumput adalah sumber biofuels yang paling baik. Mereka meyakini pendapat bahwa bahan bakar yang terbuat dari biomass padang rumput adalah bahan bakar yang ‘karbon negatif’, maksudnya bahwa dengan menggunakan biomass padang rumput akan mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer. Lain halnya dengan menggunakan ethanol jagung atau biodiesel kedelai yang merupakan ‘karbon positif’, yaitu penggunaannya akan menambah kadar karbondioksida pada atmosfer. Para peneliti tersebut bahkan berpendapat bahwa dengan memproduksi bahan bakar yang terbuat dari rerumputan di tanah/ladang yang sudah tidak layak tanam untuk pertanian, akan mengurangi emisi karbondioksida global sampai 15%. Walaupun pendapat ini tentu saja masih mendapatkan sanggahan dari ahli lainnya.
David Tilman, seorang profesor ekologi dari Universitas Minnesota dan direktur dari Cedar Creek Natural History Area, merupakan ketua dari proyek riset ini. “Biofuels yang dibuat dari campuran keanekaragaman tanaman padang rumput bisa mengurangi pemanasan global dengan menyingkirkan karbon dioksida dari atmosfer.” Juga kalau ditanam di atas tanah tidak subur, mereka bisa menyediakan sebagian besar keperluan energi global, dan membiarkan tanah yang subur untuk produksi makanan, ujar Tilman.
Berdasarkan pada 10 tahun penelitian di Cedar Creek Natural History Area, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tanah pertanian yang ditanami dengan campuran tanaman padang rumput yang sangat bermacam-macam dan tanaman berbunga lain menghasilkan 238 persen lebih banyak bioenergi rata-rata, daripada lahan sama yang ditanami dengan berbagai tanaman padang rumput satu spesies, termasuk monocultures switchgrass.
Sebab dasar mengapa keaneka-ragaman hayati menyebabkan efisiensi yang lebih baik daripada monocultures sangat mudah untuk dimengerti: beberapa tanaman tumbuh selama musin semi sedangkan yang lain bertambah besar pada musim lain, oleh sebab itu mereka ‘melengkapi’ satu sama lain.
Apabila semua orang memperhitungkan pertumbuhan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan selama pertumbuhan, proses memanen, mengangkut dan mengubah tanaman ke dalam bahan bakar — serta karbon dioksida yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar— dan membandingkannya dengan jumlah karbondioksida yang dihirup oleh tanaman-tanaman tersebut selama proses pertumbuhan, padang rumput memiliki efisiensi 6-16 kali lebih baik daripada biji-bijian jagung ethanol atau biodiesel.
Ini adalah perkembangan sangat besar, dan lebih baik lagi karena rerumputan bisa berkembang dan tumbuh di daerah/ladang yang sudah tidak layak lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Kesimpulannya, dengan menanam beraneka ragam tanaman (rerumputan) diatas 500.000.000 hektare lahan yang sudah tidak layak pakai untuk pertanian, di seluruh dunia, akan bisa menggantikan sekitar 13% dari konsumsi minyak global, dan mengurangi sekitar 15% dari emisi karbon dioksida, taksiran Tilman dan koleganya. (House of Wavega)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar